Jember- Pada saat agenda Rapat Kamisan yang bertepatan hari Kamis tanggal 3 Oktober 2024, bertempat di gedung Auditorium KH. Masykur Abdul Mu’id, L.M.L. Sebagaimana biasanya, Bapak Pimpinan Pondok Pesantren Baitul Arqom Jember KH. Izzat Fahd, M.Pd.I menyampaikan nasehat yang mengandung tema “Pentingnya Pendidikan Kepesantrenan”.
Pendidikan pesantren merupakan sistem pendidikan yang memadukan pendidikan agama, karakter dan ilmu pengetahuan umum. Pada Era Globalisasi seperti saat ini kerap terjadi demoralisasi. Salah satu jalan keluarnya adalah menanamkan pendidikan karakter kepada anak. Adapun sumber kurikulum pesantren berasal dari Al-Quran dan hadits.
Beberapa orang enggan memilih pesantren karena beranggapan bahwa santri itu kuno, kaku, banyak aturan, kurang mengikuti zaman, dll. Padahal, salah satu jiwa pesantren adalah jiwa bebas dengan garis besar tidak merusak pendidikan dan pengajaran. Apalagi kehidupan di pondok pesantren mengutamakan kebersamaan tanpa memandang suku, ras, dan budaya. Hal ini telah diajarkan oleh Rasulullah SAW yang berbunyi:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian. Namun, yang Allah lihat adalah hati dan amalan kalian,” (HR. Muslim).
Seperti nasehat yang pernah saya dengar yaitu, “Kewajiban seorang guru pesantren bukan hanya mengajar. Akan tetapi juga mendidik serta mensyiarkan ajaran agama. Sehingga generasi yang memiliki etika, sopan santun, bertanggung jawab dan berpendidikan tidak punah,” tutur salah satu ustadz yang saya ingat ketika mengajar di dalam kelas.
Singkat kata pada zaman sekarang banyak anak muda yang terjerumus pada pergaulan bebas. Sehingga jauh dari ajaran agama. Baik mulai dari internet, sosialisasi, dan berlebihan mengikuti budaya barat. Maka salah satu cara untuk mengubah pola pikir anak yaitu menanamkan pendidikan agama. Misalnya pondok pesantren.
Dalam Mukernas ke-5 RMI (Rabithah Al-Ma’ahid Al-Islamiyah) pada tahun 1996 terdapat tiga fungsi dan peran pesantren sesuai visi emansipatorisnya.
Pertama, sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam. Artinya, pesantren ikut bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa dan mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang memiliki ilmu pengetahuan yang handal, serta dilandasi iman dan takwa yang kokoh.
Kedua, sebagai lembaga perjuangan dan dakwah Islamiyah. Artinya, pondok pesantren bertanggung jawab mensyiarkan agama Allah serta ikut berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan umat beragama serta meningkatkan kerukunan antar umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Ketiga, sebagai lembaga pemberdayaan dan pengabdian masyarakat. Artinya, pesantren wajib mendarmabaktikan peran, fungsi dan potensi emansipasi yang dimilikinya guna memperbaiki kehidupan serta memperkokoh pilar eksistensi masyarakat demi terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil, beradab, sejahtera dan demokratis.
Pada awalnya para pendiri pondok mendirikan pesantren memiliki suatu tujuan yaitu mencetak generasi tafaqquh fiddin. Hal ini merupakan salah satu perintah Allah kepada hambanya yang telah tertuang pada QS. At-Taubah ayat 122 yang berbunyi:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi (tinggal bersama Rasulullah) untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya? (QS. At-Taubah:122)
Penafsiran tentang tafaqquh fiddin sangat diresapi oleh pendiri pesantren. Sehingga menjadi suatu dasar untuk mengembangkan kurikulum kepesantrenan agar tercipta generasi yang mempunyai sumber daya masyarakat handal.
Apalagi setelah pondok pesantren mendapat pengakuan oleh pemerintah sebagai lembaga pendidikan yang tertulis dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Maka lembaga ini tidak dipandang sebagai lembaga ilegal. Namun, sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai kesetaraan dalam hak dan kewajiban dengan lembaga pendidikan formal lainnya.
“90 persen lembaga di Indonesia dibawah naungan pihak swasta dan 10 persen negri,” ujar KH. Izzat Fahd, M.Pd.I.
Dengan pengakuan tersebut kegelisahan para orang tua hilang. Sebab terbenak dalam pemikiran para orang tua bahwa dengan ijazah pesantren tidak dapat melanjutkan ke bangku perkuliahan. (Rb/Qr)